Islam Marah, Bolehkah?
Oleh: Irza Anwar Syaddad*
“Kita butuh Islam Ramah, bukan Islam Marah”, (Gus Dur). Benarkah kita tidak butuh “Islam Marah”? Apakah dalam sejarahnya, (orang) Islam tidak pernah marah?
Abu Dzar dan Umat Proletar
Dalam tulisan yang berjudul “Abu Dzar yang Kontroversial”, Jalaluddin Rakhmat mengisahkan hidup salah satu sahabat Nabi yang terkenal akan kezuhudannya dan pembelaannya atas orang-orang lemah –dan terlemahkan–(mustadh’afin), yaitu Abu Dzar al-Ghifari. Dikatakan kontroversial karena –tulis Jalaluddin Rakhmat– banyaknya riwayat dari Abu Dzar yang membela orang miskin. “Kekasihku, Rasulullah saw., mewasiatkan aku untuk mencintai orang miskin dan bergaul akrab dengan mereka”, ujar Abu Dzar.[1]
Alkisah, Abu Dzar al-Ghifari hidup pada masa kemakmuran kaum muslimin. 10 tahun di masa khalifah Umar dan 12 tahun di masa khalifah Usman. Kendati dia memperoleh banyak santunan dari bait al-mal, sebagai bisyarah atas jasa-jasanya pada masa awal Islam, Abu Dzar tidak menggunakannya untuk kebutuhannya sendiri. Malah seringkali diinfakkannya kepada kaum muslimin yang papa, sedangkan dirinya hidup sederhana.
Konsistensinya dalam menolongkaum mustadh’afin tidak hanya dengan menyedekahkan sebagian besar ghanimah, fai`dan bisyarah yang diperolehnya, melainkan juga menyerukan hak-hak orang fakir di kantor-kantor pemerintahan, tempat para sahabat yang lain menjabat. Saking lantangnya ia bersuara pada sahabat yang kaya[2], sampai-sampai ia berseteru dengan, di antaranya, Muawiyah dan Khalifah Usman.
Syahdan, dalam rangka menyuarakan hak fuqara`, Abu Dzar sampai di Syam, di kantor Muawiyah bin Abu Sufyan, yang pada waktu itu menjabat sebagai gubernur. Di hadapan gubernur, Abu Dzar berteriak, “Wahai orang-orang kaya, bantulah yang miskin! Orang yang menumpuk kekayaan dan tidak mendermakannya di jalan Allah akan dipanggang di neraka”. Gugatan Abu Dzar ini disitir dari surat at-Taubah: 34. Tidak terima dengan kritik pedas ini, Muawiyah berkilah, bahwadlamir“mereka”dalam“mereka yang menimbun emas dan perak, namun tidak menafkahkannya di jalan Allah”, adalah ahl al-kitab, atau kaum Yahudi dan Nasrani, bukan kaum Muslimin.
Akan tetapi, malang bagi Abu Dzar. Dengan dalih mengganggu stabilitas wilayah Syam, Muawiyah kemudian meminta Khalifah Usman untuk menarik Abu Dzar ke kantor khalifah, Madinah. Tidak jera atas sikapnya di Syam, di hadapan Khalifah, Abu Dzar masih meneriakkan hal yang sama: dermakan harta orang kaya kepada kaum papa. Kendati demikian, protes Abu Dzar tidak berjalan mulus. Ia didebat oleh Ubay bin Ka’b dengan alasan, orang kaya berwenang menimbun harta, selama kewajibannya sebagai muslim –zakat, sedekah– terpenuhi.Akan tetapi, Abu Dzar masih bergeming dengan pendapatnya. Menurutnya, ia tidak rela dengan orang-orang kaya, hingga ia menginfakkan hartanya dan berbuat baik kepada sekelilingnya.
Kontroversi Abu Dzar memang telah ada, bahkan semenjak sebelum memeluk Islam. Banyak riwayat yang menceritakan profesinya sebagai begal orang kaya, namun harta rampasannya dibagikan kepada kaum miskin. Tak ayal kemudian, para pengkaji Islam berdebat mengenai keterkaitan gagasan kesetaraannya dengan sosialisme dan komunisme. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Kementerian Dalam Negeri Mesir sampai meminta Universitas al-Azhar untuk membentuk panitia penelitian yang mengkaji gagasan Abu Dzar.Dari penelitian tersebut, bermunculan beragam pendapat, baik pro maupun kontra. Di antaranya adalah buku Abu Dzar wa asy-Syuyu’iyyah (Abu Dzar dan Komunisme) yang ditulis oleh Abdul Halim Mahmud. Dalam karyanya tersebut, Abdul Halim menampik adanya ide komunisme dalam gerakan Abu Dzar.
Terlepas dari segala kontroversinya, ada dua hal penting yang kita dapatkan dari kisah heroik Abu Dzar. Pertama, isu sosialisme, atau katakanlah kesetaraan hidup antar warga negara, adalah isu yang sensitif di kalangan umat Islam. Tidak hanya bagi kaum muslimin modern, sejak masaKhulafa` Rasyidun pun, protes kaum proletar yang ditujukan kepada kaum borjuis, selalu dianggap sebagai aksi subversif. Bahkan ada anggapan: adalah tabu jika seorang muslim mengadakan gerakan bersama kaum fakir untuk meminta hak mereka baik kepada orang-orang kaya maupun kepada pemerintah.
Terkait hal ini, kita tidak dapat menggeneralisasikan penyebab dekadensi sosial yang melanda umat Islam pada masa awal dan dewasa ini. Ada banyak faktor mengapa ada kecenderungan sinis dan apriori Islam kepada pembela(an) rakyat kecil. Terkait masa kekhalifahan Islam, Faraj Faudah mengkritik degradasi moral yang melanda sebagian sahabat. Peristiwa ini nampak mencolok pada masa Khalifah Usman.
Pada masa sebelumnya, Khalifah Umar membuat kebijakan untuk mewajibkan para pemuka sahabat untuk tinggal di Madinah. Mereka dilarang meninggalkannya kecuali atas persetujuannya. Alasannya, Umar r.a. ingin selalu berada di dekat mereka dan senantiasa meminta pertimbangan dari mereka. Akan tetapi, alasan yang sesungguhnya adalah Umar merasa khawatir akan kedengkian dan kecemburuan para sahabat atas kekayaan orang lain. Sebenarnya, Khalifah telah memberi bisyarah kepada mereka, walaupun dalam jumlah yang terbatas. Dan Khalifah tahu, jika para sahabat utama ini meninggalkan Madinah untuk pergi menuju ke kota-kota besar, tak ayal mereka akan dipuja dan dilayani secara berlebihan oleh umat. Jadi, pada hakikatnya Umar r.a. khawatir akan tercorengnya kehormatan mereka. Namun malangnya, kebijakan ini tidak berlaku di masa Khalifah Usman. Khalifah Usman cenderung membebaskan para sahabat untuk pergi kemanapun, terlebih Khalifah memberi banyak uang saku kepada mereka. Karena berbagai kemudahan, kekayaan dan kehormatan yang diperoleh para sahabat, mulai muncullah keengganan untuk memikirkan keadaan umat. Dan hal ini berlanjut sampai dua Daulah berikutnya: Daulah Umawiyyah dan Daulah Abbasiyyah.
Sedangkan untuk era sekarang, dalam “Proyek Liberalisme: Depolitisasi Gerakan Keagamaan”, M. Zoehdan menunjuk muka proyek liberalisme yang berperan dalam membelokkan perhatian –atau dalam istilah M. Zoehdan, “memenjarakan”– agama dalam isu-isu pertentangan identitas daripada mengajak umat untuk berpikir serius mengenai hal yang lebih penting: kemiskinan dan ketimpangan pembangunan. Lebih jauh lagi, proyek liberalisme bahkan bisa memberi stigma radikal, konservatif, anti HAM dan sederet label negatif lainnya, kepada agamawan yang concernkepada isu ketimpangan sosial.[3]
Ironis memang. Agama yang digadang-gadang menjadi rahmah li al-‘alamin (berkah bagi semesta), dalam kenyataannya justru hanya menjadi berkah bagi segelintir orang saja. Ormas-ormas yang menjadikan Islam sebagai asas organisasinya, bungkam belaka tatkala ada kesusahandan penganiayaan yang menimpa umatnya. Setidaknya, mereka bisa mengecam atau mengutuk penganiayaan tersebut. Bahkan akan lebih mulia sekali jika sampai bangkit melawan kezaliman tersebut. Dan inilah hal penting kedua yang dapat kita peroleh dari kisah Abu Dzar, yaitu fakta kemarahan umat Islam, baik karena kelaliman, maupun ketimpangan sosial.
Islam Marah: Tabu?
Abu Dzar marah kepada sahabat kaya yang tidak mendermakan hartanya kepada umat Islam yang fakir. Abu Dzar tidak pandang bulu siapa yang menerima kemarahnnya. Selama ia melihat ada ketimpangan kesejahteraan dalam masyarakat, ia akan marah.Marah untuk membela hak kaum yang lemah –maupun terlemahkan–.
Selain kisah kemarahan Abu Dzar, Rasul juga pernah marah, bahkan sampai mengutuk si lalim. Semisal ketika Rasul mengetahui bahwa para sahabat huffaz sebanyak 70 orang, yang sedianya diminta ke suku Mudlar untuk mengajari mereka tuntunan Islam, namun justru dibantai oleh mereka sendiri. Perlu diketahui, jumlah 70 huffaz pada masa itu terhitung banyak. Karena tidak semua sahabat hafal al-Quran dan ‘alim dalam Islam. Atas tragedi ini, Rasul bahkan secara khusus melaknat mereka dalam salat Subuh. Kekecewaan dan kemarahan Rasul ini tercatat dalam Shahih Bukhari: 951:
حَدَّثَنَاقُتَيْبَةُحَدَّثَنَامُغِيرَةُبْنُعَبْدِالرَّحْمَنِعَنْأَبِيالزِّنَادِعَنْالْأَعْرَجِعَنْأَبِيهُرَيْرَةَ أَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَكَانَإِذَارَفَعَرَأْسَهُمِنْالرَّكْعَةِالْآخِرَةِيَقُولُاللَّهُمَّأَنْجِعَيَّاشَبْنَأَبِيرَبِيعَةَاللَّهُمَّأَنْجِسَلَمَةَبْنَهِشَامٍاللَّهُمَّأَنْجِالْوَلِيدَبْنَالْوَلِيدِاللَّهُمَّأَنْجِالْمُسْتَضْعَفِينَمِنْالْمُؤْمِنِينَاللَّهُمَّاشْدُدْوَطْأَتَكَعَلَىمُضَرَاللَّهُمَّاجْعَلْهَاسِنِينَكَسِنِييُوسُفَوَأَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَغِفَارُغَفَرَاللَّهُلَهَاوَأَسْلَمُسَالَمَهَااللَّهُ قَالَابْنُأَبِيالزِّنَادِعَنْأَبِيهِهَذَاكُلُّهُفِيالصُّبْحِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Mughirah bin ‘Abdurrahman dari Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah, bahwa ketika Nabi saw. mengangkat kepalanya dari rukuk yang akhir, beliau membaca: “Ya Allah selamatkanlah ‘Ayyasy bin Abu Rabi’ah, Ya Allah selamatkanlah Salamah bin Hisyam, Ya Allah selamatkanlah Al Walib bin Al Walid, Ya Allah selamatkanlah orang-orang yang lemah dari orang-orang beriman. Ya Allah keraskanlah sikaan-Mu atas suku Mudlar dan timpakanlah kepada mereka musim paceklik sebagaimana terjadi di zaman Yusuf”. Nabi saw. juga berdoa: “Suku Ghifar, semoga Allah mengampuni mereka. Suku Aslam, semoga Allah menyelamatkan mereka. “Ibnu Abu Az Zinad menyebutkan dari bapaknya, “Semua ini dilakukan pada shalat Subuh”.
Dari dua contoh di atas, dapat kita pahami, bahwa tidak selamanya (umat) Islam bersikap ramah atau toleran kepada setiap peristiwa. Memang benar, bertebaran riwayat yang menceritakan kehalusan akhlak muslimin seperti dalam Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah. Namun banyak juga riwayat mengenai kemarahan umat Islam, sebagaimana dua kisah di atas. Kemarahan pertama didasari oleh ketimpangan kesejahteraan muslimin, dan kemarahan kedua disebabkan pembantaian 70 huffaz.
Dua kisah di atas juga menjadi narasi tandingan atas “hegemoni” slogan ‘Kita butuh Islam ramah, bukan marah’ yang mendominasi diskursus keislaman kita. Penulis yakin, terdapat asbab al-wurud yang berkorelasi dengan ucapan Gus Dur tersebut. Ketika mengatakan demikian, Gus Dur tentu tidak berangkat dari ruang yang kosong. Ada beragam peristiwa –semisal intoleransi umat beragama, pelarangan pendirian rumah ibadah, dan lain sebagainya– yang menjadi titik tolak Gus Dur. Dengan demikian, sebenarnya kita tidak perlu menghindari marah, alih-alih apriori terhadapnya. Kita juga tidak perlu takut atau menyesal dilabeli “Islam marah”. Selama kita mampu menempatkan kemarahan dalam kondisi yang tepat, kita tidak perlu ragu untuk melakukannya.
Memang, dalam suatu peristiwa, Rasul misalnya, walaupun keadaan memungkinkannya untuk marah, namun beliau malah melakukan sebaliknya: sabar dan memohonkan ampun orang yang menzaliminya. Banyak kisah-kisah masyhur yang menceritakan kelapangan hati Rasul atas cemoohan dan perlakuan kasar dari orang kafir. Rasul tidak marah atas perlakuan mereka, Rasul justru mendoakan keselamatan mereka. Untuk persoalan pribadi, Rasul mengampuni perbuatan mereka. Dan hal ini juga sesuai dengan tuntunan Yesus ketika ada orang yang mencederainya. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”, (Matius 5: 39).
Akan tetapi sebaliknya, ketika umat Islam yang dianiaya, maka Rasul akan segera bertindak dan melawan kelompok yang menzalimi umatnya. Jadi, Rasul bersikap toleran selama tidak ada kekejian yang menimpa umatnya. Namun Rasul akan marah dan melawan, jika ada yang menyakiti umatnya.
Dan ini yang disalahpahami oleh sebagian kalangan, bahwa Rasul hanya memerintahkan untuk bersikap toleran dan menghormati agama lain, tanpa ada sikap defensif alih-alih ofensif untuk membela umatnya. Padahal faktanya, Rasul juga mengizinkan sahabatnya (dan diizinkan Allah[4]) untuk melawan. Kita dapat membuktikannya dari sejarah. Contohnya adalah Piagam Madinah. Di dalamnya termaktub hak dan kewajiban penduduk Madinah, baik Muslimin maupun umat Yahudi. Rasul memerintahkan untuk hidup secara rukun dan bergotong-royong. Namun ketika umat Yahudi mencederai perjanjian yang telah mereka sepakati, hingga terdapat korban dari pihak Muslim, maka mau tidak mau harus ada hukuman yang ditanggung umat Yahudi.
Jadi, dalam sejarahnya, kemarahan (baca: perlawanan) umat Islam tidak hadir dari perebutan umat atau ketakutan akan menyusutnya jumlah umat Islam. Melainkan muncul karena teraniaya atau karena pihak lawan mencederai perjanjian damai yang telah disepakati. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menyerang umat beragama lain atas dasar perbedaan keyakinan.
Referensi
Rakhmat, Jalaluddin, Quranic Wisdom: Kearifan Al-Quran melalui Tafsir bil Ma’tsur, Bandung: Mizan, 2012.
- Zoehdan, “Proyek Liberalisme: Depolitisasi Gerakan Keagamaan”, dalamhttp://islambergerak.com/2015/10/proyek-liberalisme-depolitisasi-gerakan-keagamaan/.
[1] Jalaluddin Rakhmat, Quranic Wisdom: Kearifan Al-Quran melalui Tafsir bil Ma’tsur, (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 125.
[2] Informasi lengkap mengenai kehidupan glamour para sahabat pada masa kemakmuran Islam dapat dibaca di Faraj Faudah, Al-Haqiqah al-Ghaibah, (Kairo: Dar el-Fikr, 1988).
[3] M. Zoehdan, “Proyek Liberalisme: Depolitisasi Gerakan Keagamaan”, dalamhttp://islambergerak.com/2015/10/proyek-liberalisme-depolitisasi-gerakan-keagamaan/
[4] Baca surat al-Hajj: 39-40.
*Penulis adalah alumni Kelas Pemikiran Gus Dur III, sekarang ngangsu kaweruh di Riyadh-Arab Saudi.
Di sadur dari Santri Gus Dur
Post a Comment